Thursday, November 27, 2008

Ruangku ruangmu

Pernah seorang teman mengatakan bahwa dulu hidup di perumahan ini sungguh menyenangkan. Bagaimana tidak, dulu, kami memiliki tempat kami bermain sepak bola bersama yang kini telah terampas oleh kepentingan kapitalisme. Kepentingan akan kebersamaan, hidup sosial yang dulu kami tampilkan dalam bentuk kumpul bersama dengan cara bermain bola di masa anak-anak, sekarang kian berubah seiring pergerakan jaman. Kini, anak-anak lebih sering hadir di game center dibanding di lapangan sepak bola atau lebih sering ngumpul nongkrong bareng sambil minum-minum atau bahkan nyabu. Sebuah kenyataan yang pahit yang tidak disadari oleh masyarakat perkotaan. Hilangnya ruang-ruang publik kota terkadang dianggap biasa saja, padahal di saat yang bersamaan kita telah merelakan terampasnya sebuah kehidupan sosial dan telah meniupkan terompet-terompet kriminalitas, anti sosial, dan hal-hal negatif yang baru.

Baru-baru ini juga ada informasi petisi selamatkan Babakan Siliwangi sebagai ruang terbuka hijau. Sebuah Petisi yang diusung karena masih ada dan mungkin masih banyak orang yang peduli akan ruang terbuka hijau yang mumpuni di tengah perkotaan yang selayaknya mampu menampung aktivitas publik. Namun, harapan akan ruang publik di tengah perkotaan ini sirna ditelan oleh kepentingan kapitalisme. Sungguh menyedihkan, karena secara tidak langsung akan terusung bahwa ruang publik yang baru adalah ruang publik komersial yaitu mall, dimana di sana kita harus membayar untuk menikmati ruang-ruang di dalamnya. Dengan kata lain akan terbentuk manusia yang menuntut bebas beraktivitas menjadi robot-robot yang hidupnya terkekang dalam ruang-ruang komersial ciptaan kepentingan kapitalis.

Mulai dari hal itu saja bisa berdampak ke ruang sosial lainnya. Hidup di perumahan sebaiknya ada hidup bersosial, hidup bertetangga untuk memupuk rasa percaya, kebersamaan, dan kekeluargaan, namun kenyataannya karena tuntutan keseharian, seringkali, rumah hanya dijadikan sebagai tempat untuk tidur. Esensi sebuah rumah sebagai tempat tinggal atau home sweet home sudah bergeser menjadi rumah akhir minggu. Bukan sedikit orang yang dari senin-jumat lebih sering menghabiskan di kantor dan di jalan dibandingkan di rumah. Waktu yang efektif untuk bersosial adalah hari sabtu-minggu. Namun, oleh karena pola hidup yang melelahkan tadi, terkadang hari sabtu-minggu adalah hari yang cocok untuk beristirahat. Habislah sudah semua hari untuk kepentingan diri sendiri (masyarakat anti sosial).

Perumahan saja secara tidak langsung ada kategorinya dalam hal sosial. Mungkin dengan kata lain, kalo mau sosialisasi bisa pilih di hunian kelas menengah, kalo mau hidup sendiri yang sedikit sosialisasinya bisa pilih di hunian kelas atas. Memang enak hidup di hunian kelas atas tapi enak juga hidup di hunian kelas menengah, hal itu kembali lagi kepada urusan kantong. Ruang-ruang di perumahan kelas menengah memiliki besaran jalan yang cukup, rumah-rumah yang saling menempel, luasan rumah yang cukup. Kenyataan ini yang membuat saya berpikir kalo ruang-ruangnya saja sangat dekat pasti jarak sosialnya juga lebih kecil, sehingga kehidupan bertetangga pun terasa hidup, karena mau tidak mau kita harus saling mengenal oleh karena jarak sosial yang dekat tadi. Dengan kata lain, masyarakat yang berhunian kelas menengah tidak hanya bersosial dengan saudara sedarah saja, namun juga bersosialisasi dengan tetangga yang notabene bukan saudara. Bedakan dengan hunian kelas atas, lebar jalan tergolong besar selayaknya jalan raya, luasan rumah besar, rumah-rumahnya tidak menempel, sehingga kehidupan bertetangga dirasa kurang di hunian tipe ini. Meskipun disediakan lapangan sebagai ruang publik, masyarakatnya jarang menggunakan fasilitas ini, karena waktunya habis dalam urusan keseharian.

Memang pola hidup juga yang membawa masyarakat ke arah masyarakat komersial. Pola hidup yang tercipta karena kepentingan kapitalis tadi yang membawa masyarakat kita menjadi anti sosial atau sosial tapi berkelompok saja. Jadi, jangan salahkan kotanya bila manusianya bisa saling tusuk hanya karena menyenggol, salahkan orang-orang yang merampas ruang publik dan ruang sosial kita. Padahal dari ruang publik dan ruang sosiallah, kita mampu belajar mengenal orang lain sebagai sesama masyarakat yang empunya kota.

Saturday, November 8, 2008

Sabar yang teruji...

setelah hampir 4 hari,

Akhirnya hari-hari gw terisi kembali. Bisa dibilang ini hari adalah hari kembalinya kemerdekaan gw. Kembalinya laptop tercinta memberi arti tersendiri bagi gw, apalagi seluruh harapan gw bersama di dalamnya. Sebuah laptop dengan tipe HP Compaq presario V3725AU, sebuah seri yang disematkan khusus buat gw, dengan seri V sesuai inisial nama depanku. Hehe... :)

Kerusakan yang sama terulang lagi setelah bulan kkn itu. Jadi, tuh laptop gw sleep biar bisa dipake lagi berikutnya. Eh pas gw coba aktifin lagi, tuh laptop malah gak mau nyala. Malah berontak dia, gw paksa mati dah tuh laptop. Akhirnya mati juga dia. Pas gw nyalain, tuh laptop malah gak berfungsi hardwarenya di bagian keyboard dan touchpad. Sial, kenapa kejadian lagi. Untung posisi gw lagi di jakarta, jadi deket dengan service centernya. Gw bawa aja dah ke sana. Disuruh nunggu paling nggak 3-4 hari.

Tiap hari gw telpon tuh mbak2 hp service center. Kasian juga sih, tapi mau gimana lagi, bisa gila gw tanpa kehadiran si laptop itu. Akhirnya, gw telpon jumat dan dia bilang udah bisa diambil, senang deh gw. Akhirnya dipertemukan kembali. Gw jemput deh tuh si laptop bersama seorang gadis lucu. :) Ternyata, kerusakan software yang mempengaruhi hardware. Nama softwarenya alps pointing device. Tapi, takut juga sih, takut kejadian lagi, apalagi kalo udah habis masa garansinya. Mana dia bilang ganti keyboard bisa sampe 1 juta. BUSET deh.

Mudah-mudahan ini laptop gak bermasalah lagi. Soalnya ini yang kedua kali. Kalo ada ini laptop, bisa gw update terus deh ini blog, bisa terus ym-an, dan yang pasti bisa berarsitekturia...

Saturday, November 1, 2008

Hari baru dengan mimpi baru..

selamat pagi jakarta...

Begitu caraku menyambut pagi di kota yang penuh dengan tipu daya dan kontroversi ini. Bagaimana tidak? Ditemani dengan nasi uduk yang dibeli mama dan secangkir air putih, kumulai pagi ini dengan menyalakan tv untuk menonton sekumpulan info dan berita yang menarik. Namun, tidak pernah ada berita yang menyenangkan, yang ada hanya sekumpulan berita sampah yang kadang hanya bisa membuat kita mengelus dada karena tidak tahu harus berbuat apa. Apakah berita itu yang menjadi ciri dari kemajuan sebuah kota atau memang tidak ada berita lain yang menarik dari sebuah kota yang sedang berkembang.

Memang menjadi sebuah dilema bila memilih hidup di perkotaan, ada untung dan ada ruginya. Dari segi keuntungan, kita di dekatkan dengan sumber mata pencaharian, cepat mendapat informasi, mampu membuat perubahan pada diri sendiri karena keterpaksaan tuntutan hidup yang harus terus diperjuangkan bila hidup di kota. Kerugiannya, kita setiap hari harus tahan terhadap tekanan dari pihak luar yang seringnya membuat kita stres dan mungkin malah bisa memaksa untuk bertindak anarkis. Mungkin ini juga yang membuat makin banyak berita kriminal oleh karena manusia yang tidak siap terjun ke kota namun memaksakan diri ke kota. Jadi semua ini salah siapa? Kota dijadikan tempat mengadu nasib kalo tidak bernasib, ya curi aja nasib orang, mungkin itu yang sekarang menjadi pandangan orang yang tidak siap dan tidak bernasib di perkotaan.

Salah kotanya atau salah manusianya? Mungkin memang pemerataan pembangunan yang belum dirasakan secara merata yang menjadi penyebab banyaknya manusia yang bertaruh nasib di ibukota. Tapi itu seharusnya bukan jadi alasan lagi. Kenapa saya katakan demikian, karena seiring kemajuan jaman, kita sebagai masyarakat dari kota dimanapun kita berada, diharapkan mampu lebih kreatif dalam melihat peluang yang ada di kota kita berada. Dengan demikian kita tidak perlu harus pindahkan. Misalnya, kalo Jogja sangat menguntungkan bila usaha kos-kosan. Coba buka usaha demikian, pasti anda juga merasa kenapa harus ke ibukota, kalo di kota sendiri saja bisa berusaha kok. Lagian, kasihan ibukota Jakarta, harus mencukupi perut sekitar 8 juta orang yang hidup di dalamnya. Apa mau ditambah lagi tuh jumlah penduduknya. Kalo ditambah lagi ya, Jakarta harus siap dengan segala kemungkinan buruk yang akan dihadapi, baik bencana alam maupun anarkisme masyarakat yang tidak tahan dengan kehidupan ibukota.

Jadi, mari memandang hari depan dengan mimpi yang baru, mimpi akan kota yang sehat dan nyaman, mimpi akan kemerdekaan yang hakiki, mimpi akan kehidupan yang sejahtera.